Jumat, 04 Mei 2012

Lily Kasoem ketua titian foundation pendiri SMK khusus batik


Mengubah anggapan masyarakat bahwa membatik itu merupakan pekerjaan buruh miskin dilakukan Lily Kasoem dengan mendirikan sekolah. Melalui program pendidikan yang dirancangnya SMK di Bayat, Klaten Jateng mampu mencetak entrepreneur muda mengembangkan usaha batik.
PENGHASIL batik tulis Bayat telah tersohor sejak zaman dahulu. Para raja dan bangsawan di Jogyakarta dan Solo memakai hasil batik yang dihasilkan warga desa Bayat.
Di tempat itu membatik menjadi membudaya dis etiap keluarga. Semula ibu-ibu pembatik tradisional masih menganggap batik itu merupakan pekerjaan buruh. Walaupun membatik dilakukan menahun selama hidup, namun warganya masih tetap miskin.
Sebab itu para ibu di desa itu tidak ingin anak-anaknya sebagai penerus keluarga melakoni profesi sama dengan orang tuanya. “Tidak boleh dibiarkan berlarut-larut seperti itu. Dengan dilatih dan mengikuti sekolah formal khusus, anak-anak muda di Bayat bisa menjadi pengusaha batik,” kata Lily.
Pola tradisional yang secara turun temurun dilakukan warga tidak mendorong usaha mereka. Tekad itulah yang mendorong Lily untuk mengembangkan SMKN 1 Rota Bayat. Melalui Titian Foundation yang didirikannya 2006 lalu itu, anak muda di Bayat dibimbing mengembangkan usaha batik. Menjadi entrepreneur muda yang bisa menggeliatkan usaha kecil menengah dari sektor batik. “Karena manual satu minggu cuma selembar kain batik yang dihasilkan.
Sedangkan permintan pasar dalam jumlah yang besar. Mereka awam karena tidak di latih dan akhirnya usaha tidak berkembang,” kisahnya ketika memulai kegiatan sosial Sekolah itu kata Lily, memiliki fasilitas pendidikan lengkap. Memiliki bengkel kerja keramik dan batik, laboratorium bahasa, komputer, perpustakaan, ruang multimedia yang representatif. Ditambah lagi dengan lapangan olah raga, dan guest house Bedanya kata Lily, sekolah kejuruan yang didirikan yayasan tersebut menyiapkan –murid bukan jadi pekerja.
Justru lulusan siswa disiapkan untuk menjadi pengusaha. “Di Bayat mencelup, cantik itu sudah biasa dilakukan setipa keluarga. Awalnya ibu-ibu di desa itu tidak ingin nasib anaknya kelak sama miskin dengan orang tuannya karena hanya bisa hidup dari membatik,” ucapnya.
Anak-anak yang bersekolah di sekolah itu kata Lily menggunakan sumber daya manusia yang ada untuk keuntungan masyarakat. Pentingnya lagi akan memotong jalur tengah atau makelar yang biasa membayar buruh batik dengan upah 10 ribu rupiah.
Padahal, dengan booming batik, seharusnya mereka bisa memperoleh pendapatan lebih dari itu untuk menghidupi keluarga Ketua Yayasan Titian yang menjadi mitra Reach Out to Asia (ROTA) di Indonesia itu melakukan terobosan. Siswa SMKN 1 ROTA dimodali pula pengetahuan kewirausahaan, bahasa Inggris, dan teknologi informasi agar mampu bersaing di pasar global.
Melengkapi sekolah dengan perpustakaan yang punya 1.500 judul buku serta koleksi audio visual. Upaya meningkatkan keterampilan karya murid yang diikutsertakan dalam berbagai ajang pameran dan laris terjual. “SMKN 1 ROTA juga berhasil masuk sebagai 23 SMK terbaik di Indonesia,” katanya. Selain jurusan keramik, SMKN 1 ROTA juga memiliki jurusan favorit lainnya, yaitu jurusan batik.
Jurusan itu juga menjadi andalan pihak sekolah dalam meraih berbagai prestasi. Tiap mengikuti pameran batik baik di tingkat provinsi maupun nasional, karya-karya para siswa SMKN 1 ROTA habis terjual. “Bukti itu menunjukkan siswa siap menjadi entrepreneur dan karya mereka diakui pihak luar. Sebab mereka juga di bimbing untuk memperluas jaringan pasar dengan pola usaha,”katanya. Pendidikan seperti itu, ungkap Lily tidak pernah dinikmati generasi pembatik terdahulu.
Anak muda di Bayat sekarang tidak hanya pandai membatik namun juga berkembang jadi entrepreneur.“Dari orang tua saya hanya tahu cara membatik sesuai pesanan bos-bos batik. Namuan, di SMKN 1 ROTA diajari tentang pemasaran batik serta kebudayaan batik,” ujarnya. Semua materi ajar yang diberikan di SMKN 1 ROTA memang ditujukan untuk pengembangan teknik baru dan mendidik siswasiswinya agar memiliki kepekaan terhadap desain baru. Hanya dalam beberapa tahun siswa sekolah itu sudah menunjukan kemajuan. Anak muda Bayat jadi mencintai batik dan mau melestarikan warisan budaya bangsa itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar